Selasa, 24 Januari 2012

Hama Tanaman Kakao


HAMA 


Penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella, 
Famili Gracillariidae
Ordo Lepidoptera

Hama kakao ini sangat merugikan. Serangannya dapat merusak hampir semua hasil.Penggerek Buah Kakao dapat menyerang buah sekecil 3cm,tetapi umumnya lebih menyukai yang berukuran sekitar 8 cm. Ulatnya merusak dengan cara menggerek buah, memakan kulit buah, daging buah dan saluran ke biji. 
Gejala pada buah yang terserang akan lebih awal berwarna kuning,dan jika digoyang tidak berbunyi. 
Biasanya lebih berat daripada yang sehat. Biji-bijinya saling melekat, berwarna kehitaman serta ukuran biji lebih kecil. 
Hama ini dapat dikendalikan dengan sanitasi, pemangkasan, membenam kulit buah, memanen satu minggu sekali , kondomisasi, serta dengan cara hayati/ biologi, seperti pada halaman berikut.
Keadaan dilapang dapat ketahui bahwa penyakit ini sangat merugikan contohnya disulawesi petani menggantungkan hidupnya dari budidaya kakao, namun dengan meningkatnya perkebunan kakao tidak dapat meningkatkan produktivitas kakao tersebut maupun harga dipasar dunia, hal ini sangat kerap dihubungkan oleh gangguan organisme tanaman salah satunya adalah penggerek buah kakao yang membuat kualitas dan kuantitas penen menurun. 
Pengendalian lainnya dapat dilakukan dengan sarungisasi dengan syarat seperti berikut. 
1.Ukuran buah 6-8 cm atau pada saat buah mengandung air, karena: 
  •  Serangga PBK mulai meletakkan telur pada ukuran dan kriteria dimaksud
  •  Serangan PBK bisa mencapai 0 % apabila dilakukan aplikasi 1 x insektisida yang telah direkomendasikan oleh Komite Pestisida sebelum sarungisasi.
 2. Dilakukan pada saat musim buah sedikit, karena: 
  • Hama PBK lebih terakumulasi keberadaanya dan dapat memberikan jumlah populasi awal yang rendah pada saat musim buah banyak
  • Sarungisasi pada musim buah banyak tidak efektif karena serangan hama PBK bisa menjadi sangat tinggi karena banyak makanan yang tersedia di lapangan 
  • Sarungisasi tidak efektif dan tidak ekonomis pada musim buah banyak, terutama apabila biji kakao kering hanya sekitar Rp. 8.000,-/kg
kemudian penegndalian hama ini dapat juga dilakukan dengan teknik budidaya

Pemangkasan
 Pemangkasan juga bermanfaat untuk mengendalikan PBK .Melalui pemang-kasan kita mengurangi/ membuang cabang, ranting, dan daun daun yang tidak berguna sehingga penggunaan zat makanan lebih efektif, dan tanaman kakao akan semakin baik pertumbuhannya, bukan hanya dalam hal tajuk tetapi juga dalam pertumbuhan buah. Selain itu, pemangkasan akan memberikan banyak penetrasi sinar matahari, serta gerakan angin yang bebas sehingga akan mengurangi serangan PBK. Karena itu, lakukanlah pemangkasan yang tepat waktu dan cara benar, baik dalam pemangkasan bentuk,pemangkasan produksi,maupun pemangkasan pemeliharaan.
Pemupukan 
Dampak utama pemupukan terhadap tanaman kakao adalah merangsang pertumbuhan yang baik. Dampak ini meningkatkan ketahanan kakao terhadap PBK. Tanaman kakao yang tumbuh sehat akan lebih tahan terhadap serangan PBK. Karena itu, lakukanlah pemupukan yang benar dengan memperhatikan dosis, jenis, cara, waktu, dan tempat
Sanitasi
Daur Hidup
Cara sanitasi penting untuk mematikan
PBK yang ada dalam buah yang sudah
dipanen . Jika  tidak  d imatikan,P BK


tersebut  dapat  berkembangbiak d a n
menyerang buah yang masih ada di pohon.
Setelah buah dipanen, seluruhnya dibelah,
Kulit buah dimasukkan ke dalam lobang
dan ditutup dengan tanah atau dengan
plastik untuk membunuh larva yang masih
Gejala
ada / hidup pada buah.
Jika tidak segera dikerjakan simpanlah
buah dalam karung plastik yang diikat
rapat. Cara tersebut mencegah PBK keluar
dan menyerang buah yang belum masak
di pohon.
Sering memanen
Untuk  menurunkan  jumlah P B K ,
sebaiknya semua buah yang sudah masak
atau masak awal dipanen seminggu sekali.
Cara ini  menghindari  perpanjangan
perkembangan  /  Daur  hidup PBK di
kebun.
Sarungisasi
Pemakaian kantong  plastik
Kantong plastik yang dipasang pada buah
dapat mencegah serangan PBK. Kantong
tersebut harus dilobangi di bagian bawah
supaya air dapat   keluar.   Jika tidak
dilubangi, mungkin buah kakao akan
membusuk. Saat yang tepat pengantongan
adalah pada saat ukuran panjang buah
sekitar 8 cm.

Kepik Penghisap Buah Kakao ( kepiding )   Helopeltis antoni.,
Famili Miridae, 
Ordo Hemipter
Kepinding
CACAO POD SUCKER

Cara hidup
kepiding memiliki ovovisitor untuk memasukkan telur kedalam buah kokao yang masih muda, telur deimasukkan dengan 2 atau 3 kelompok dengan stadium telur antara 6 - 24 hari. Setelah telur menetas, larva selalu bergerak dengan gesit dan mampu berpindah dari buah satu kebuah yang lain. Kepiding ini sebelum berubah menjadi dewasa mengali pergantian kulit sebanyak 6 kali..
Ciri ciri kepiding ini  imago berwarna hitam, dada berwarna merah, dan memiliki tanduk yang lurus. Tanaman inang antara lain kako, teh, lada, gambit, kopi dan lain lain.

Gejala
Gejala
Gejala yang ditimbulkan oleh serangan kepiding ini adalah terdapat bintik - bintik hitam pada buah yang diserang, dan apabila serangan parah maka buah akan terlihat busuk, sedangkan pada buah yang lumayan besar serangan ini dapat menyebabkan buah menjadi tidak sempurna dan menyebabkan penurunan kualitas karna biji buah akan tetap kecil.
Tidak hanya serangan pada buah namun kepiding ini dapat juga menyerang tanaman yang belum berbuah yang terjadi pada tunas atau pucuk daun muda ( Flush ) sehingga daun akan layu dan mengiring kemudian berguguran dan terlihat seperti cabang yang gundul.

Pengendalian 

Pengendalian kepiding ini dapat dilakukan dengan mengatur tanaman pelindung, pemangkasan yang dapat menurunkan kelembaban karena kepiding sangat menyukai kelembaban yang tinggi dan suhu udara agak panas, kemudian pemberantasan tanaman inang yang tak berguna, dan penyemprotan insektisida pada pukul  18.00 - 20.00 karena pada saat  tersebut kepiding tidak dapat bergerak dengan cepat. 


KUTU PUTIH/ Pseudococcus lilacinus
(Homoptera: Psudococcidae)
Kutu Putih 

Cara hidup 

Kutu ini berwarna putih karena diselimuti lapisan lilin, pada dasarnya kutu bersimbiosis dengan semut hitam dan semut rang - rang. Kutu putih dewasa selama hidupnya dapat meletakkan 300 butir dengan daur hidup antara 35 - 50 hari. Kutu putih ini hidup berkoloni dan berkembangbiak pada musim kemarau. Tanaman yang biasa terserang kutu putih antara lain Kakao, Rambutan, Jambu, Kapuk dll
Gejala Pada Pepaya


Gejala 

Jejala yang tibul dari serangan kutu putih ini adalah terjadi infeksi pada pangkal buah, pada bagian terlindung, dan kemudian dilanjutkan pada buah yang masih kecil, sehingga pertumbuhan buah akan terhambat. 


Pengendalian 

Pemeliharaan tanaman dengan baik yang mencakup pengelolaan kebun dengan baik kemudian dengan memanfaatkan musuh alami seperti semut hitam dan semut rang - rang, dan penyemprotan dengan insektisida yang dicampur dengan pelarut zat lilin agar insektisida yang disemprotkan dapat lagsung kontak ketubuh kutu.  



Minggu, 22 Januari 2012

Tentang Perkebunan

Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggriscrop cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan.
Dari defenisi pertanian diatas dapat kita ketahui bahwa Perkebunan adalah cabang dari pertanian yang menghasilkan produk bahan baku industri yang sangat dibutuhkan oleh manusia dalam memenuhi kubutuhan sehari hari. 

Sejarah Perkebunan Diindonesia

Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor perkebunan, karena sektor ini memiliki arti yang sangat penting dan menentukan dalam pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia. Perkembangan perkebunan pada satu sisi dianggap sebagai jembatan yang menghubungkan masyarakat Indonesia dengan ekonomi dunia, memberi keuntungan finansial yang besar, serta membuka kesempatan ekonomi baru, namun pada sisi yang lain perkembangan perkebunan juga dianggap sebagai kendala bagi diversifikasi ekonomi masyarakat yang lebih luas, sumber penindasan, serta salah satu faktor penting yang menimbulkan kemiskinan struktural. Bahkan dalam konteks masa lalu ada yang berpendapat bahwa sejarah kolonialisme dan imperialisme Barat di Indonesia merupakan sejarah perkebunan itu sendiri. Sejak awal kedatangan bangsa Barat yang mengidentifikasi diri sebagai pedagang sampai masa-masa ketika Barat identik dengan kekuasaan kolonial dan pemilik modal, perkebunan menjadi salah satu fakta atau variabel yang tidak bisa diabaikan untuk merekonstruksi dan menjelaskan realitas masa lalu yang ada.

Masa Perkembangan Perkebunan

Sebelum perkebunan milik para pemodal barat berkembang pesat pada abad-19, usaha pekebunan sebenarnya sudah mencapai sejarah panjang bagi perkebunan indonesia pada abad 15, pada saat itu tanaman lada, cengkeh, dan berbagai tanaman penyegar lainnya yang berasal dari tanaman liar dari berbagai daerah diindonesia mulai dibudidayakan oleh masyarakat indonesia, hal tersebut disebabkan oleh peningkatan permintaan yang sangat pesat dari orang barat. 
 Para penguasa di kerajaan Aceh dan Banten misalnya, telah melakukan langkah yang sistematis melalui jalur birokrasinya dalam mengusahakan perkebunan lada pada akhir abad ke-16. Di Banten, pembukaan perkebunan itu tidak hanya terbatas di tanah-tanah yang tersedia di ujung barat pulau Jawa melainkan juga merambat ke daerah kekuasaannya di Lampung, sehingga terjadi mobilitas penduduk secara rutin menyeberangi Selat Sunda.
Satu hal yang harus diketahui dari berbagai study yang telah dilakukan negara sebenarnya telah menguasai usaha perkebunan baik sebagai pemilik maupun sebagi pedagang hasil perkebunan.  Pada saat itu proses produksi dan pemasaran ditentukan oleh negara, keluarga kerajaan, dan para birokratnya melalui jaringan birokrasi dan institusi tradisional, sementara itu rakyat hanya berfungsi sebagai penyedia tenaga kerja dan tidak memiliki kekuatan tawar menawar untuk menentukan besar kecilnya nilai dan hasil produksi. Penguasa dan birokrasinya bahkan menentukan distribusi kebutuhan sehari-hari produsen, yang merupakan kompensasi atas keterlibatan mereka dalam proses produksi. Oleh karena itu kita harus mengetahui bahwa Hal itu menunjukkan bahwa pasar bukan merupakan komponen ekonomi yang penting, baik untuk memasarkan produksi maupun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat karena birokrasi menentukan segala hal.
Dalam usaha tersebut para pengusaha cenderung berkerja sama dengan orang asing dibanding kan dengan pengusaha lokal, hal tersebut dikukan agar tidak munculnya kelompok lokal yang akan menyaingi kekuasaan raja karna keberhasilannya. salah satu contoh  sejarah tersebut adalah pada abad 16 yang terjadi diaceh pada saat sultan  Ala’ad-din Ri’ayat Syah al-Mukammil memerintah kan untuk membunuh dan merampas seorang pengusaha kaya. Pada saat itulah produksi dan perdangan produk perkebunan terutama tanaman penyegar seperti lada didominasi oleh kalangan politik terutama dari kalangan uleebalang yang merupakan penguasa otonom dari suatu daerah, sehingga pada abad 16 perkebunan tanaman lada sudah mencakup wilayah yang sekarang menjadi sumatra utara, sumatra barat dan bengkulu. 
Kemudian pada saat itu hadir pennguasa dari luar terutaman inggris dan belanda memperluas usaha perkebunan yang dilakukan oleh beberapa kalangan penduduk di beberapa wilayah kepulauan indonesia.
Sementa itu dijawa  orang-orang Cina menyewa tanah-tanah desa untuk membuka perkebunan, terutama perkebunan tebu. Pada abad ke-17 perkebunan dan pabrik gula sederhana milik orang Cina sudah ditemukan di sekitar Batavia. Usaha perkebunan milik orang Cina ini juga dapat ditemukan di wilayah yang masih dikuasai oleh Mataram. Usaha perkebunan, terutama milik orang asing ini semakin berkembang ketika kekuasaan Barat atas kerajaan-kerajaan lokal semakin luas dan dalam. Di tanah-tanah partikelir, tanah yang dikuasai VOC yang dijual kepada pribadi-pribadi kaya di Jawa terutama sejak tahun 1778, perbukaan perkebunan-perkebunan baru yang ditanami berbagai jenis tanaman ekspor memperluas aktivitas usaha perkebunan di Jawa. Perkembangan usaha perkebunan mencapai salah satu puncaknya ketika VOC yang hampir bangkrut menerapkan kebijakan penanaman dan penyerahan wajib kopi di Priangan, yang dikenal sebagai Preanger Stelsel menjelang berakhirnya abad ke-18. Penanaman kopi di Priangan ini kemudian menjadi model dari tumbuhnya usaha perkebunan yang diselenggarakan oleh negara pada abad berikutnya, yang dikenal sebagai Kultuurstelsel atau biasa diterjemahkan sebagai Sistem Tanam Paksa dalam historiografi Indonesia.

Berkembangnya Perkebunan Besar 
Pada awal abad 19 pemerintah hindia belanda mengambil alih perkebunan indonesia yang menggantikan VOC dengan memaksimalkan lahan - lahan yang subur dan yang kosong serta tenaga - tenaga penduduk untuk menghasilkan produk perkebunan dengan komoditi  ekspor, diantaranya kopi, tebu, nila dan tembakau. sedangkan diwilayah jawa pemerintah kolonial menerapkan kebijakan Kultuurstelsel dalam rangka memanfaatkan secara paksa tanah-tanah desa baik yang belum maupun yang telah diolah oleh masyarakat di daerah Gubernemen sejak tahun 1830. Penduduk diharuskan menyerahkan tanah dan tenaga kerja mereka dalam jumlah tertentu untuk menghasilkan berbagai komoditi ekspor seperti yang telah disebutkan di atas untuk kepentingan negara kolonial. Kebijakan tersebut tidak hanya dilakukan di daerah pulau jawa namun dilakukan juga diwilayah wilayah lain, 
Seperti telah dilakukan oleh kerajaan-kerajaan lokal sebelumnya, pemerintah Hindia Belanda memanfaatkan dengan baik jalur birokrasi. Di samping birokrasi colonial, pemerintah colonial juga memanfaatkan birokrasi tradisional untuk menjalakan usaha perkebunan yang dikuasai oleh negara itu. Sistem Tanam Paksa di Jawa yang berbasis pada desa telah melibatkan pada pejabat lokal dari tingkat bawah sampai bupati bersama-sama controleur sampai residen untuk melakukan kontrol terhadap seluruh aktivitas yang berlangsung. Di Sumatera Barat para tuanku laras, sebagian penghulu, dan kepala menjadi bagian penting dari keberhasilan program itu. Di samping para birokrat kolonial, para elite lokal itu menikmati keuntungan ganda berupa manipulasi terhadap produsen dan imbalan yang diterima dari penguasa kolonial, tidak heran bahwa kalangan elite lokal mampu membangun relasi politik dan ekonomi yang erat dengan kolonial sehingga menimbulkan konflik antara mereka dengan masyarakat sendiri, sedangkan para kaum elit yang berusaha untuk bersikap netral kondisi ini sulit mereka yang berusaha melindungi rakyatnya karna tekanan dari para kolonial. 
Bukti-bukti lain menunjukkan bahwa perkebunan-perkebunan besar milik swasta juga telah berkembang sejak Daendels dan Raffles menjual tanah-tanah di Bogor, Kerawang, dan Priangan, terutama kepada pengusah-pengusaha swasta Barat dan Cina. Penjualan perkebunan Cikandi Ilir dan Cikandi Udik antara tahun 1823 dan 1833 menjadi contoh lain dari keterlibatan pengusaha swasta asing dalam perkembangan perkebunan besar di Jawa sebelum tahun 1870. Bahkan pada saat Sistem Tanam Paksa berlangsung, paling tidak 36.398 bau tanah Gubernemen di Pekalongan, Surabaya, Pasuruan, dan Banyumas telah berubah menjadi perkebunan besar, masing-masing mengusahakan lebih dari 1.000 bau milik pengusaha swasta. Pada tahun 1826, NHM yang sangat berperan dalam penyelenggaraan Sistem Tanam Paksa telah mendorong berkembangnya perkebunan besar milik swasta melalui sistem kontrak konsinyasi dengan pemerintah. Perkembangan perkebunan milik pengusaha swasta di Jawa semakin berkembang ketika pemerintah mengizinkan pembangunan pabrik gula milik swasta di samping pabrik gula yang diusahakan oleh negara setelah tahun 1850. Namun satu hal yang perlu dicatat berkaitan dengan perkembangan perkebunan swasta itu, banyak dari perusahaan perkebunan itu dimiliki oleh keluarga para pejabat pemerintah Belanda dan Hindia Belanda. Hal itu dapat dilihat pada kasus perkebunan dan Pabrik Gula Purwodadi di Madiun yang dimiliki oleh Baron A. Sloet van Oldruitenborgh yang merupakan menantu dari P.J.B. Perez seorang anggota Konsil Hindia Belanda. Kepentingan keluarga dan pribadi ini sering menimbulkan konflik dengan para birokrat lokal yang berusaha membela kepentingan pemerintah. Para pengelola perkebunan di Tegal misalnya mengeluh karena para pejabat lokal telah menghalangi perkebunan dalam pengadaan tenaga kerja, sehingga ia dipindahkan ke tempat yang lain. Di Rembang seorang residen berani mencabut izin usaha beberapa perkebunan tembakau swasta yang dianggapnya telah melanggar tanpa akibat apapun, namun penggantinya melakukan hal yang sama terpaksa harus menghadapi pemecatan yang telah direkayasa dari atas. Perubahan kebijakan ekonomi pemerintah seiring dengan semakin kuatnya kepentingan ekonomi para pemilik modal Barat dan adanya perhatian yang lebih besar terhadap pulau-pulau lain setelah tahun 1870 merupakan salah satu tonggak penting dalam pertumbuhan yang semakin cepat usaha perkebunan di Indonesia. Perkebunan gula dan tembakau, terutama milik swasta berkembang sangat luar biasa di Pulau Jawa sampai tahun 1930-an. Menurut data yang dipublikasi dalam Kolonial Verslag, luas areal perkebunan gula yang diusahakan pemerintah menurun dari 28.167 hektar pada tahun 1870 menjadi 3.875 hektar pada tahun 1890. Sementara itu lahan yang dikelola perkebunan gula swasta meningkat dari 332 hektar pada tahun 1875 menjadi 25.075 hektar pada tahun 1890. Jumlah perkebunan gula swasta juga meningkat dari 46 pada tahun 1875 menjadi 158, yang 24 diantaranya dimiliki oleh orang Cina pada tahun 1895. Kedudukan pemodal swasta dalam perkembangan usaha perkebunan di Indonesia pada masa kolonial menjadi semakin besar sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika beberapa komoditi baru seperti karet dan teh mulai dikembangkan dan pembukaan perkebunan besar di Sumatera dan Kalimantan. Pembukaan perkebunan tembakau milik swasta di Jawa Timur dan Sumatera Timur pada akhir abad ke-19 menandai sebuah era baru dalam usaha perkebunan, tidak hanya bagi daerah sekitarnya melainkan juga di seluruh wilayah kekuasaan Hindia Belanda selanjutnya. Pengerahan tenaga kerja dari luar daerah, khususnya tenaga kerja kontrak bagi orang Madura di Jawa Timur dan orang Jawa, Cina, dan India di Sumatera Timur pada satu sisi masih meneruskan beberapa ciri tradisi perkebunan yang lama, namun pada sisi yang lain telah menciptakan komunitas perkebunan baru yang unik dan berbeda dengan yang pernah ada sebelumnya.

Lingkungan Perkebunan 


Dari tipologi yang dikemukakan oleh Clifford Geertz  bahwa indonesia memiliki dua lingkungan perkebunan yang pertama adalah sebagian besar di daerah pulau jawa wilayah yang penduduknya mengalami proses marginalisasi akibat sistem produksinya mengambil alih secara langsung modal produksi yaitu tanah milik desa atau pribadi dan tenaga kerja yang seharusnya digunakan oleh produsen untuk berproduksi bagi kepentingan ekonomi rumah tangga sehari-hari. Proses produksi nila, tembakau, dan tebu menggunakan tanah yang sama digunakan penduduk untuk menanam bahan makanan, khususnya padi. Sementara itu, biarpun sebagian lahan perkebunan kopi dan teh menggunakan lahan di dataran tinggi yang belum diolah, namun di banyak tempat kebun-kebun kopi dan teh milik perusahan besar swasta menggunakan tegalan penduduk dan membatasi upaya penduduk untuk membuka tegalan baru seiring dengan pertambahan penduduk dari waktu ke waktu. Di dalam lingkungan yang pertama ini, keterlibatan langsung masyarakat lokal di dalam usaha perkebunan menjadi sangat intensif. Hampir sebagian besar tenaga kerja dipenuhi oleh penduduk setempat, kecuali di daerah tertentu yang jarang penduduknya atau dalam musim tertentu ketika tenaga kerja bebas dari luar juga banyak digunakan. Tenaga kerja tidak hanya terbatas pada laki-laki dan orang dewasa, dalam kenyataannya proses produksi juga melibatkan banyak tenaga kerja perempuan dan anak-anak. Tekanan terhadap ekonomi desa menjadi sangat besar, sehingga proses involusi seperti yang digambarkan Clifford Geertz terjadi di beberapa tempat. Bahkan kajian yang dilakukan oleh Peter Boomgard menyatrakan bahwa keterlibatan perempuan di luar sektor domestik terus meningkat seiring dengan perkembangan perkebunan. Pada saat yang sama, penduduk juga mampu memanfaatkan keberadaan teknologi baru dan kesempatan ekonomi yang dimunculkan oleh perkembangan perkebunan. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Robert Elson di Pasuruan menunjukkan bahwa disamping adanya proses involusi dan pemerataan kemiskinan pada komunitas tertentu, penduduk di beberapa wilayah bahkan mampu memanfaatkan secara maksimal irigasi yang dibangun bagi perkebunan tebu untuk meningkatkan produksi padi mereka, sehingga daerah seperti Lumajang menjadi salah satu penghasil padi utama di Jawa Timur. Di tempat lain, penduduk merespon secara positif kesempatan ekonomi baru yang berkaitan dengan perkembangan perkebunan, seperti membuka pasar dan membuat berbagai barang sebagai industri rumah tangga, baik barang yang dibutuhkan oleh perkebunan maupun oleh para pekerjanya. Sebelum lori dan kereta api menjadi alat transportasi utama, penduduk di sekitar perkebunan juga memanfaatkan ternak mereka untuk memenuhi jasa angkutan yang diperlukan oleh perkebunan.

Kemudian lingkungan yang kedua adalah Lingkungan kedua lebih banyak terdapat di perkebunan-perkebunan di Sumatera dan Kalimantan. Di tempat ini terdapat pemisahan yang tegas antara perkebunan sebagai pusat produksi komoditi untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia dengan lahan penduduk untuk menanam kebutuhan pangannya. Biarpun secara agronomis lahan yang digunakan untuk membuka ladang atau huma penduduk sama dengan lahan yang dimanfaatkan untuk perkebunan, sampai beberapa dekade awal abad ke-20 belum terjadi persaingan antara kebutuhan lahan perkebunan dengan kebutuhan penduduk menanam padi. Berbeda dengan lingkungan yang pertama, sebagian besar perkebunan di lingkungan kedua dikembangkan di daerah baru yang belum menjadi bagian dari sistem produksi masyarakat. Baru pada masa kemudian ketika terjadi pertumbuhan penduduk yang sangat besar, persoalan lahan ini muncul. Kebun-kebun tembakau, kopi, dan kemudian karet serta kelapa sawit sebagian besar dibuka pada hutan-hutan tropis yang belum dihuni oleh penduduk. Sebagian besar tanah itu merupakan tanah adat, yang diubah statusnya oleh pemerintah kolonial melalui berbagai peraturan menjadi tanah milik penguasa lokal atau tanah tidak terpakai sebelum dilimpahkan kepada perusahaan perkebunan yang mendapat hak konsesi. Kondisi ini menempatkan posisi politis para elite lokal menjadi seolah-olah lebih penting, dan di beberapa daerah para elite itu bahkan mengalami peningkatan status dari sekedar “kepala mukim”, “kepala kampung”, atau kepala wilayah menjadi raja atau sultan, yang menurut konsep state domain berkuasa atas tanah yang ada. Keadaan itu juga menimbulkan distorsi dalam konteks politik, ketika satuan unit kekuasaan dari para kepala mukim, kepala kampung, atau kepada wilayah yang mengalami mobilitas sosial semu itu tiba-tiba dipahami sebagai kerajaan dalam pengertian negara. Padahal secara teoretik konseptual, kedudukan para elite itu paling tinggi hanya dapat disetarakan dengan bupati. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tradisi historiografi Indonesia sampai saat ini tidak bisa membedakan dengan jelas antara konsep chiefdom dengan kingdom dalam membahas para elite itu. Berbeda dengan kenyataan para elite di Jawa yang memiliki kemampuan mengerahkan tenaga kerja melalui jaringan tradisionalnya untuk memenuhi kepentingan perkebunan, para elite di lingkungan kedua itu ternyata tidak memiliki kekuasaan untuk mengerahkan tenaga kerja penduduk yang ada di bawah kekuasaannya. Hal itu tentu saja memperkuat pendapat bahwa sesungguhnya para elite itu tidak lebih dari elite semu, yang menempati posisi tersebut karena kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang ingin melegalisir pemindahan hak atas tanah adat kepada perusahaan perkebunan melalui prinsip state domain. Kebutuhan tenaga kerja dipenuhi oleh tenaga kerja dari luar, sementara jarang sekali penduduk penduduk di sekitarnya yang bekerja sebagai buruh. Pengerahan tenaga kerja luar ini dapat dijelaskan karena rendahnya tingkat populasi di sekitar lokasi perkebunan baru itu dan penduduk setempat sudah memiliki kesempatan ekonomi alternatif. Di Sumatera Timur misalnya, kebutuhan tenaga kerja dipenuhi oleh tenaga kerja kontrak yang berasal dari Cina, yang pada awal abad ke-20 mencapai 2/3 dari seluruh pekerja yang ada. Pada akhir dekade pertama abad ke-20, jumlah pekerja kontrak yang berasal dari Jawa terus meningkat sehingga jumlah pekerja Cina di Sumatera Timur menurun lebih dari separuh. Peningkatan jumlah kuli kontrak dari Jawa itu juga mulai merubah komposisi buruh yang bekerja di perkebunan menurut jenis kelamin dan komposisi umur, yang menunjukkan semakin banyaknya pekerja wanita dan kemudian anak-anak. Selain melalui sistem kontrak, kebutuhan tenaga kerja untuk perkebunan di beberapa tempat seperti Jambi, Palembang, Bengkulu, dan Lampung dipenuhi melalui program kolonisasi. Berbeda dengan prinsip dasarnya yang direncanakan untuk pengembangan pertanian pangan, sebagian besar dari orang yang dipindahkan dari daerah miskin dan bencana di Jawa itu ternyata lebih banyak yang dipekerjakan pada perkebunan-perkebunan, di samping untuk proyek-proyek pembangunan lainnya yang dilakukan pemerintah. Kebutuhan tenaga kerja dari luar yang besar itu kemudian menarik para pendatang dari berbagai wilayah ke sekitar perkebunan, baik sebagai pekerja maupun bukan. Hal ini berbeda dengan lingkungan pertama yang sudah dihuni oleh penduduk ketika perkebunan dibuka, kehadiran pendatang sangat terbatas. Jika pun ada, kedatangan pendatang itu hanya bersifat musiman, dan hanya sedikit yang memutuskan untuk menetap. Namun di lingkungan tipe kedua, daerah sekitar perkebunan dipenuhi oleh para pendatang yang menetap. Seperti yang terjadi di banyak tempat di Sumatera Timur dan Lampung, penduduk pendatang yang berasal dari luar lingkungan adat setempat menjadi lebih dominan. Pada awalnya mereka membuka lahan-lahan yang ada di luar tanah konsesi perkebunan baik untuk pemukiman maupun lahan produksi. Dalam perkembangan waktu, para pendatang ini mulai mengolah lahan-lahan yang telah ditetapkan sebagai tanah konsesi perkebunan, termasuk di lahan-lahan produksi. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang menimbulkan persoalan yang kompleks dalam masalah pertanahan antara perkebunan dengan masyarakat. Di dalam konteks yang lain, dua lingkungan perkebunan ini dapat dilihat dari kualitas ekonomi komunitas perkebunan. Eksploitasi, diskriminasi, kemiskinan, dan penderitaan merupakan cerita utama yang ada di sekeliling masyarakat perkebunan di Indonesia pada masa kolonial sampai saat ini. M. Said, Jan Breman, dan A.L. Stoler misalnya menggambarkan begitu rupa tentang kehidupan masyarakat perkebunan, khususnya di Sumatera Timur yang harus menanggung beban yang sangat luar biasa. Kondisi yang sama juga masih dihadapi oleh para buruh di perkebunan-perkebunan tembakau di Besuki sampai saat ini. Para pekerja perempuan dan anak-anak khususnya harus menghadapi diskriminasi sosial, ekonomi dan bahkan kekerasan seksual secara terus menerus diwarisi dari satu generasi ke generasi-generasi berikutnya. Sebuah kajian yang paling akhir tentang perkebunan pada masa kolonial menunjukkan telah terjadi peningkatan kualitas non fisik seperti kesehatan dan perlakukan kasar para mandor dan tuan kebun yang semakin berkurang, namun pendapatan riil para pekerja di Sumatera Timur tidak mengalami perubahan yang berarti sejak awal pembukaan perkebunan sampai tahun 1920. Sampai tahun 1910 sebagai contoh, setiap pekerja laki-laki Jawa menerima 30 sen per hari, dan jumlah ini meningkat 60% pada tahun 1920. Kenaikan ini tidak ada artinya jika dibandingkan dengan kenaikan biaya hidup, khususnya kenaikan harga beras yang juga mencapai 60%. Selain itu biarpun angka kematian pekerja turun pada tahun 1910-an dibandingkan dengan kondisi di tahun-tahun awal pembukaan, dalam kenyataannya fluktuasi angka kematian ini tetap menunjukkan kecenderungan yang tinggi mencapai 20 per 2.000 orang, seperti yang terjadi sepanjang dekade kedua abad ke-20. Gambaran yang serupa juga terdapat di berbagai perkebunan besar lain milik pemodal swasta di Palembang, Kalimantan Selatan, Jambi, Lampung, dan Bengkulu. Gambaran yang agak berbeda tentang perkebunan akan didapat jika komunitas perkebunan dilihat sebagai sebuah totalitas. Perkebunan tidak hanya berisi para pekerja yang menderita melainkan juga pekerja yang menikmati keuntungan finansial yang sangat besar dari hasil perkebunan itu. Ketika banyak pekerja yang diberhentikan, perusahaan merugi, dan para pemegang saham tidak menerima deviden pada masa depresi ekonomi tahun 1930-an, sebagian pekerja perkebunan yang berada pada tingkat tertentu masih menikmati tantiem dalam jumlah yang sangat besar dibandingkan dengan rata-rata penghasilan penduduk dan pegawai pemerintah atau swasta umumnya. Ironisnya, warisan kolonial ini ternyata tidak hilang ketika Indonesia mencapai kemerdekaan, dan perkebunan tidak lagi dikelola oleh orang asing. Pada masa pascasaproklamasi kemerdekaan, berbagai fasilitas dan sistem yang menguntungkan para elite perkebunan terus dipertahankan. Dalam konteks ini, kemerdekaan dan berakhirnya kolonialisme dapat dikatakan tidak mempengaruhi keberlanjutan eksploitasi dan ketimpangan yang telah menjadi ciri komunitas perkebunan pada masa-masa sebelumnya. Bagi sebagian besar komunitas perkebunan, kemerdekaan hanya sebuah jargon politik yang tidak pernah menjadi bagian dari realitas kehidupan mereka sehari-hari. Seperti pada masa-masa sebelumnya, akses mereka terhadap tanah juga terbatas, kalau tidak mau disebut tertutup. Oleh karena itu tidak mengherankan jika konflik pertanahan tetap merupakan sesuatu yang laten dalam komunitas perkebunan pascaproklamasi kemerdekaan, dan bahkan dalam beberapa hal menjadi lebih buruk. Sistem jaluran yang dipraktekkan di perkebunan Sumatera Timur pada masa kolonial yang memungkinkan adanya akses terbatas terhadap tanah bagi para buruh sebagai contoh, ternyata tidak berlanjut dengan reformasi agraria yang memberi pengakuan hak atas tanah kepada para penggarapnya ketika Indonesia menjadi sebuah negara merdeka. Bahkan beberapa bukti menunjukkan akses para buruh terhadap tanah menjadi semakin terbatas, dan bahkan hilang sama sekali ketika terjadi Indonesianisasi terhadap perkebunan. Di tempat lain, lahan masyarakat yang telah mengambil alih pengelolaan lahan perkebunan pada masa Jepang dan awal kemerdekaan, terpaksa harus kecewa atau berada pada ketidakpastian secara terus menerus ketika harus berhadapan dengan pengelola baru yang dianggap resmi oleh pemerintah setelah kebijakan nasionalisasi atau Indonesianisasi tahun 1950-an. Hal itu menunjukkan dua lingkungan di atas tidak hanya telah membentuk sebuah struktur melainkan juga sebuah kultur komunitas perkebunan pada masa yang secara politik berbeda itu. Hampir sama dengan cerita tentang masyarakat miskin perkotaan di Amerika Latin yang telah terjerat oleh culture of poverty seperti yang dikemukakan oleh Oscar Lewis, secara historis komunitas perkebunan di Indonesia juga telah menciptakan struktur sekaligus kultur perkebunan yang sangat sulit untuk diubah. Baik para pekerja kuli maupun pekerja mandor dan pekerja menejer telah terjerat dalam sebuah lingkaran setan atau tejebak di dalam kotak Pandora, yang mereka sendiri tidak tahu atau pura-pura tidak tahu pangkal dan ujung serta cara mencari jalan keluarnya. Jikalau terjadi perubahan, maka perubahan itu tidak terjadi secara struktural melainkan hanya parsial dan tidak berkelanjutan. Mereka yang tertindas saat ini harus menghadapi kenyataan historis bahwa nenek buyut mereka dulu juga tertindas biarpun para penindas saat kemudian ternyata bukan keturunan para penindas dahulu.